Bogor24update – Indonesia merupakan negara penghasil sawit teratas di dunia. Data Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) menunjukkan produksi sawit Indonesia tahun 2022 mencapai 46,729 juta ton per tahun.
Perkebunan kelapa sawit menjadi komoditas pertanian utama pendulang devisa. Kontribusi atau share kebun kelapa sawit pada total ekspor pertanian mencapai 73,83 persen.
Sementara pada Produksi Domestik Bruto (PDB) Indonesia, kelapa sawit menyumbang 3,50 persen terhadap total PDB Indonesia.
Walaupun menjadi produsen terbanyak, sayangnya justru produktivitas kelapa sawit di Indonesia cenderung menurun. Pada tahun 2005 produktivitas kelapa sawit di Indonesia mencapai 20.05 ton per hektar turun menjadi 17,11 ton per hektar pada tahun 2020.
Produktivitas Indonesia masih kalah jika dibandingkan dengan negara lain, seperti Malaysia yang produktivitasnya mencapai 18,53 ton per hektar per tahun.
Guru Besar IPB University, Prof Widodo, MS menyampaikan persoalan ini dalam orasi ilmiahnya bertajuk pengelola kesehatan tanaman pada peremajaan kelapa sawit, kunci peningkatan produktivitas sawit nasional secara virtual, Kamis, 23 Februari 2023.
Menurutnya, perlu upaya meningkatkan produktivitas sawit di Indonesia. Ia membenarkan bahwa produksi sawit tertinggi di dunia, namun itu karena luasan tutupan lahan kelapa sawit yang luas mencapai 16,38 juta hektar.
“Masalahnya kita tidak mungkin melakukan pembukaan kebun sawit terus menerus. Dengan luasan yang ada, kita harusnya mampu mengoptimalkannya melalui pengelolaan kesehatan tanaman dan lingkungan, terutama ketika peremajaan (replanting),” terangnya.
Menurut Prof. Widodo, penurunan produktivitas kelapa sawit dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu umur tanaman yang semakin tua, daya dukung lahan (kesehatan lahan) yang menurun, perubahan iklim, dan ancaman organisme pengganggu tanaman baik hama maupun penyakit.
Salah satu penyakit utama kelapa sawit sendiri adalah penyakit busuk pangkal batang (BPB) yang disebabkan oleh Ganoderma Boninense. Penyakit ini mampu penurunan produksi kelapa sawit hingga lebih dari 50 persen dan menyebabkan kerugian ekonomis hingga 68 persen.
“Perlu upaya kuat untuk mengelola dampak perubahan iklim dan serangan hama penyakit seperti busuk pangkal batang,” ujar Prof Widodo.
Untuk itu, lanjutnya, hal ini perlu direncanakan dan diimplementasikan sebaik mungkin ketika program peremajaan kelapa sawit mulai dilakukan.
Sebab, epidemi (ledakan) penyakit akan terjadi jika populasi patogen dalam jumlah banyak, adanya tanaman inang yang rentan dan lingkungan yang mendukung perkembangan penyakit.
Saat ini, kata Prof Widodo, kondisi tersebut sudah mulai terlihat di Indonesia, yang ditunjukkan dengan semakin meningkatnya keadaan serangan dari tahun ke tahun.