Bogor24Update – Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kota Bogor menggelar rapat koordinasi dan evaluasi program pencegahan tindak kekerasan terhadap perempuan dan orang (TPPO) di kantornya, Selasa, 9 Desember 2025.
Kegiatan ini juga mengundang berbagai Organisasi Perangkat Daerah (OPD) serta lembaga terkait seperti Kepolisian, Kejaksaan, Balai Pemasyarakatan (Bapas), dan sejumlah mitra yang selama ini bekerja sama dalam penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan.
Kepala DP3A Kota Bogor, Rahmawati, menjelaskan rakor ini bertujuan untuk menilai kembali efektivitas program perlindungan perempuan yang telah berjalan sekaligus menyusun strategi kolaboratif untuk tahun mendatang.
“Tujuan rakor ini adalah mengevaluasi program-program perlindungan perempuan yang sudah dilaksanakan. Kita mengundang OPD dan stakeholder lain yang selama ini menangani masalah perempuan,” ujar Rahmawati.
Ia mengungkapkan bahwa hingga akhir 2025, tercatat sekitar 75 kasus kekerasan terhadap perempuan di Kota Bogor. Laporan diterima melalui berbagai jalur, mulai dari UPTD Perlindungan Perempuan dan Anak, Kepolisian, hingga KPAID.
Di UPTD, korban mendapatkan berbagai bentuk pendampingan dan layanan penanganan. Ia juga mengatakan bahwa pendampingan diberikan baik kepada perempuan sebagai korban maupun perempuan yang dalam kondisi tertentu menjadi pelaku, selama mereka tetap membutuhkan perlindungan.
Namun, Rahmawati menyebutkan bahwa beberapa kasus masih dalam proses hukum. “Proses hukumnya berada di ranah Kepolisian, Kejaksaan, dan Pengadilan. Kita tidak masuk ke ranah hukum, tapi memfasilitasi pendampingannya,” jelasnya.
Pihaknya menetapkan langkah strategis untuk memperluas jangkauan pencegahan hingga tingkat terbawah. “Kegiatan kita akan banyak di tingkat kelurahan, bahkan kalau perlu sampai RW,” kata Rahmawati.
Ia juga menyoroti tantangan besar yang masih dihadapi, yaitu banyaknya perempuan yang tidak berani melapor karena alasan malu, menjaga nama baik keluarga.
“Untuk mau bicara itu butuh pendekatan berbeda. Kita ingin mereka berani menyampaikan masalahnya, bukan untuk disebarkan, tapi agar bisa kita dampingi,” katanya.
Rahmawati juga menegaskan bahwa kekerasan terhadap perempuan sering berdampak langsung pada anak, sehingga kolaborasi antara perlindungan perempuan dan perlindungan anak perlu diperkuat.
DP3A kini memperluas akses pelaporan, tidak hanya melalui UPTD, tetapi juga membuka ruang laporan langsung di kantor dinas dan pos aduan.
“Kalau ada yang datang ke dinas mau lapor, kita tetap terima dan panggil UPTD ke sini. Datang saja itu sudah perang mental luar biasa. Kita harus siap mendengarkan,” bebernya.
Ia juga menyoroti pentingnya sosialisasi agar masyarakat mengetahui bahwa DP3A merupakan tempat tujuan untuk melapor ketika terjadi kekerasan.
“Banyak yang masih bingung dinas apa itu DP3A. Kita harus gencar sosialisasi supaya masyarakat tahu bahwa masalah kekerasan bisa dilaporkan ke DP3A,” pungkasnya. (*)





















