Bogor24Update – Regional Community Forestry Training Center for Asia and The Pacific (RECOFTC) Indonesia menggelar diskusi publik di Hotel Ibis Styles Bogor, Rabu, 30 Juli 2025. Dengan mengangkat tema “Mendorong Terwujudnya Tata Kelola Hutan dan Lingkungan yang Berkeadilan melalui Ketersediaan Data dan Informasi Peta”, kegiatan ini bertujuan memperkuat komitmen multipihak dalam menciptakan tata kelola hutan yang lebih adil, transparan, dan inklusif, dengan pemanfaatan data dan peta yang akurat serta mudah diakses oleh publik.
RECOFTC Indonesia sebagai organisasi nirlaba yang fokus pada pembangunan berkelanjutan dan solusi perubahan iklim di Asia-Pasifik, berkolaborasi dengan Universitas Hasanuddin dan Universitas Riau dalam mengembangkan data visual terbuka terkait perubahan tutupan lahan di wilayah Sumatera dan Sulawesi.
Program yang berlangsung sejak Januari hingga Juni 2025 ini mengusung pendekatan teknologi machine learning (pembelajaran mesin) untuk meningkatkan akurasi pemetaan tutupan hutan dan perkebunan kelapa sawit. Teknologi ini diharapkan mampu mendukung kebijakan satu peta nasional secara lebih efisien dan tepat sasaran.
“Kami ingin menghadirkan model pelatihan pemetaan hutan berbasis artificial intelligence yang dapat mempercepat terwujudnya kebijakan satu peta di Indonesia,” ujar Direktur RECOFTC Indonesia, Gama Galudra kepada wartawan.
Ia menegaskan salah satu tantangan terbesar dalam tata kelola hutan di Indonesia adalah persoalan ketidakpastian batas kawasan hutan. Mengacu pada data Forest Watch Indonesia (FWI) hingga kini hanya 12 persen atau sekitar 14,2 juta hektare kawasan hutan yang telah selesai proses tata batas.
“Kondisi ini memicu tumpang tindih perizinan hingga seluas 8,9 juta hektare, serta konflik tenurial yang melibatkan masyarakat adat, perusahaan, dan pemerintah,” katanya.
Ia mengatakan Pemerintah Indonesia telah menyatakan komitmennya dalam mengatasi persoalan ini melalui percepatan implementasi kebijakan satu peta sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 23 Tahun 2021.
“Kebijakan ini menjadi landasan penting dalam penyelesaian berbagai persoalan tata ruang, batas kawasan hutan, hingga hak atas tanah,” ungkapnya.
Diskusi ini juga menghadirkan berbagai narasumber lintas sektor, termasuk dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Analis Transaksi Keuangan Bidang Hukum Ahli Muda PPATK, Fuad Hasan, menjelaskan bahwa PPATK sebagai Financial Intelligence Unit (FIU) memiliki tiga fungsi utama: mengumpulkan, menganalisis, dan mendiseminasikan data transaksi keuangan.
Dalam konteks tata kelola hutan, data perizinan kehutanan yang akurat menjadi bagian penting dari upaya pencegahan tindak pidana pencucian uang, khususnya yang terkait dengan penguasaan dan eksploitasi sumber daya alam.
“Peran PPATK dalam kebijakan satu peta ini adalah memastikan kesesuaian antara data kepemilikan izin usaha kehutanan dan pemanfaatan ruang dengan hasil analisis kami. Hal ini penting agar pembangunan benar-benar berbasis spasial dan transparan,” jelas Fuad.
Ia menambahkan Perpres Nomor 23 Tahun 2021 yang merupakan revisi dari Perpres Nomor 9 Tahun 2016, menegaskan pentingnya kebijakan satu peta sebagai dasar acuan pembangunan nasional berbasis geospasial.
Melalui forum ini, RECOFTC Indonesia berharap kolaborasi antara masyarakat, akademisi, pemerintah, dan sektor swasta terus diperkuat untuk mendorong tata kelola hutan yang partisipatif, adil, dan berkelanjutan. (*)