Bogor24Update – Penolakan terhadap rencana penurunan potongan komisi dari 20 persen menjadi 10 persen kembali disuarakan oleh para pengemudi ojek online (Ojol) di wilayah Jabodetabek. Lima komunitas besar yang mewakili ribuan mitra aktif menyatakan bahwa sistem komisi saat ini masih berada dalam koridor yang wajar, adil, dan memberikan manfaat berkelanjutan baik bagi mitra driver maupun aplikator itu sendiri.
Salah satu penolakan tegas datang dari Hendi Mustopa, Ketua Komunitas SGC Bogor 1B, yang menyampaikan bahwa selama ini skema komisi 20 persen tidak pernah menjadi persoalan serius bagi driver, selama sistem dan layanan aplikator berjalan dengan baik.
“Potongan 20 persen itu bukan sekadar angka, tapi bagian dari sistem. Kami sebagai mitra masih mendapatkan banyak manfaat dari skema ini, seperti perlindungan asuransi, fitur-fitur keamanan di aplikasi, layanan bantuan darurat, dan customer service yang responsif. Kalau potongan dikurangi tanpa hitungan yang matang, justru yang rugi kami juga,” ujar Hendi dalam keterangannya dikutip Senin, 21 Juli 2025.
Ia menambahkan bahwa ada kekhawatiran besar di kalangan mitra jika penurunan komisi dilakukan tanpa memperhatikan keberlangsungan finansial aplikator.
Menurutnya, apabila perusahaan tidak lagi mampu memberikan insentif, layanan teknis, hingga perlindungan dasar kepada mitra, maka akan timbul keresahan di lapangan yang bisa berdampak pada kinerja dan produktivitas para driver.
Senada dengan itu, Adi Giri, Ketua Komunitas SGC Depok 2, menyampaikan bahwa yang dibutuhkan oleh para mitra saat ini bukanlah penurunan potongan semata, tetapi kestabilan platform dan kepastian akan keberlanjutan ekosistem.
“Bagi kami yang masih aktif narik setiap hari, justru lebih penting menjaga platform tetap hidup. Kalau aplikator sampai kesulitan operasional karena dipaksa menurunkan komisi, siapa yang rugi? Kami juga yang akan kehilangan mata pencaharian,” katanya.
Ignatius Bima Satya, Ketua Komunitas SGC Jakarta Selatan 2, menambahkan bahwa komisi 20 persen justru merupakan bentuk kontribusi bersama untuk membangun dan mempertahankan ekosistem digital yang kini menjadi tulang punggung pekerjaan ribuan orang di Jabodetabek.
“Bayangkan kalau komisi diturunkan, dan Grab atau aplikasi lain tidak bisa memberikan layanan maksimal lagi. Layanan bantuan berkurang, promo pelanggan hilang, dan insentif dikurangi. Akibatnya kami juga yang kehilangan kesempatan,” ujarnya.
Menurut Bima, potongan 20 persen selama ini telah terbukti mampu menopang berbagai program seperti GrabBenefits, pelatihan digital, beasiswa anak mitra, hingga kegiatan komunitas yang memberi dampak sosial luas.
Wisnu Wardhana, Ketua NEO SGC Depok 1, juga menyampaikan bahwa narasi penurunan potongan sering kali dibawa oleh pihak-pihak yang sudah tidak lagi aktif di jalan, namun masih berusaha mengintervensi kebijakan seolah mewakili suara seluruh driver.
“Kami ini yang tiap hari narik. Kami tahu sistemnya, tahu apa yang kami dapat dari komisi itu. Kalau cuma berdasarkan opini mereka yang sudah tidak aktif, nanti bisa salah langkah dan malah merugikan kami semua,” ucap Wisnu.
Dari Tangerang, Andi Rahman selaku Ketua Komunitas SGC Tangerang 2, menyatakan bahwa sistem transportasi online bukan hanya soal pengemudi dan aplikator, tetapi juga ribuan mitra usaha kecil, restoran, hingga karyawan kantor yang bergantung pada ekosistem tersebut.
“Potongan 20 persen itu tidak bisa dilihat dari satu sisi. Sistem ini kompleks, banyak pihak yang bergantung padanya. Kalau potongan dikurangi tanpa solusi nyata untuk menutup biaya operasional aplikator, dampaknya bisa fatal. Layanan jadi tidak maksimal, support ke driver dikurangi, dan mitra usaha juga kena imbasnya,” jelas Andi.
Menurut Andi, yang dibutuhkan para driver saat ini adalah jaminan kestabilan, bukan perubahan kebijakan yang justru menimbulkan ketidakpastian.
Kelima komunitas tersebut meminta Kementerian Perhubungan untuk membuka ruang dialog yang inklusif dengan melibatkan komunitas driver aktif dari berbagai kota, termasuk Jabodetabek. Mereka menyampaikan bahwa suara dari lapangan, khususnya dari pengemudi yang masih aktif bekerja setiap hari, harus menjadi acuan utama dalam penyusunan kebijakan yang menyangkut keberlangsungan industri transportasi digital di Indonesia.
“Kami tidak menolak perubahan, tapi perubahan itu harus berdasarkan kenyataan di lapangan. Jangan hanya mendengar suara yang sudah lama tidak merasakan tantangan di jalan. Kami ini yang benar-benar bergantung hidup dari sistem ini,” ujar Wisnu.
Hendi Mustopa menambahkan bahwa jika memang ada rencana evaluasi, maka pemerintah sebaiknya mendorong sistem partisipatif dengan survei dan kajian lapangan langsung terhadap driver aktif.
“Kami terbuka untuk diajak bicara. Tapi jangan abaikan kami yang masih aktif dan masih menggantungkan hidup dari aplikasi. Komisi 20 persen selama ini sudah cukup adil dan saling menguntungkan. Jangan ganggu sistem yang sudah terbukti stabil,” tutup Hendi.
Dengan pernyataan ini, komunitas driver online Jabodetabek memperkuat gelombang penolakan dari berbagai kota terhadap wacana penurunan komisi, dan mendesak agar kebijakan tetap berpihak pada stabilitas serta kesejahteraan mitra yang bekerja setiap hari di lapangan. (*)