Bogor24Update – Pada masa kejayaan Asia Timur Raya di era Perang Dunia II sangat terasa dampaknya terutama di Indonesia. Rakyat Indonesia merasa seakan terbebas dari belenggu pembatasan yang selama ini dilakukan bangsa Eropa. Malah kondisi sebaliknya terjadi pada Warga Eropa yang didominasi orang-orang Belanda mulai hilang kebebasannya. Bahkan karena sudah kadung cinta terhadap Indonesia mereka seakan merasa terjajah.
Pengucilan orang-orang Belanda mulai dilakukan orang-orang Jepang. Kondisi mengerikan mulai terjadi mirip seperti Kamp Konsentrasi yang ada di Auschwitz, Polandia. Berdasarkan data dari Japanse Krijgsgevangenkampen, kurang lebih terdapat 106 kamp di pulau Jawa yang tersebar di 29 kota. Sementara di Jawa Barat sendiri terdapat sekitar 53 kamp termasuk di wilayah Banten dan Batavia (Jakarta;sekarang). Jawa Tengah 35 titik dan Jawa Timur 18 titik.
Jepang yang mengendalikan kekuasaan di daerah Jawa Barat mulai memberlakukan pembatasan ruang gerak kepada bangsa Eropa. Akhirnya Jepang memutuskan untuk membuat Kamp Interniran yang berada di tujuh titik di wilayah Bogor agar dapat dengan mudah memantau aktivitas dari orang-orang Eropa. Tujuh titik tersebut antara lain :
Kedoengbadak
Kedoengbadak terletak sekitar 3 kilometer sebelah utara Buitenzorg (Bogor;sekarang), tepat di sebelah timur jalan utama menuju Batavia atau Batavia Weg. Situs ini tidak ditampilkan pada peta kota Buitenzorg dalam “Stedenatlas van Nederlands-Indië” (atlas kota-kota di Hindia Belanda) – lokasinya tidak tercantum dalam peta – namun muncul pada peta topografi ‘Topografische kaart 1:50.000 (bilah 36,38 D)”. Kamp itu terletak di sebuah rumah perkebunan dengan beberapa bangunan tambahan.
Disini dikomandani seorang perwira Jepang, petugas yang berjaga berasal dari Heiho atau prajurit yang diperbantukan untuk Jepang. Dalam kamp biasanya terdapat seorang koordinator atau kepala kamp yang berasal dari orang Belanda yang tinggal di kamp tersebut.
Penulis menginterpretasi lokasi ini berada di sekitar asrama Teplan dekat Jembatan Satu Duit Sungai Ciliwung.
Kedoeng Halang
Kamp ini diberi nama Kamp Beatrix, Gedoeng Halang atau Kedoeng Halang. Kamp ini berlokasi di Beatrixlaan di distrik Kedoeng Halang, di lingkungan baru di sebelah timur Tjiliwoeng. Kamp itu terdiri dari rumah keluarga kecil.
Penghuni kamp ini terdiri dari pria, wanita dan anak-anak. Kebanyakan dari mereka yang bekerja di Kebun Raya dan ada juga sejumlah tawanan perang yang disimpan di kamp ini.
Tidak ada informasi lebih dan lengkap terkait lokasi terkini dari Kamp Beatrix atau Kamp Kedoeng Halang. Namun diperkirakan lokasi kamp ini berada di kawasan pemukiman orang Eropa sebelumnya. Sehingga oleh Jepang dijadikan kamp sekaligus.
Kelapa Noenggal
Kamp Kelapa Noenggal merupakan lokasi kamp ketiga. Kamp ini berlokasi di sebuah perusahaan karet yang terletak 25 km timur laut Buitenzorg di jalan menuju Tjibaroesa (Cibarusah). Kamp itu bertempat di barak kayu yang terbuat dari dek dan bambu.
Itu adalah kamp hukuman bagi anak laki-laki Indo-Eropa yang tidak mau bekerja dengan (untuk) Jepang; mereka dibujuk ke kamp ini dengan alasan palsu (jika tidak, mereka harus dimasukkan ke Penjara Glodok).
Komandan di kamp ini adalah Sersan Maihara (dengan bantuan Hata Indonesia) dengan pengawasan dari prajurit Heiho.
Kota Paris
Kamp ini memiliki nama lain Bunsho I, Kamp 5 (sesuai administrasi Jepang). Kamp ini berada di bagian barat laut kota. Kamp tersebut terdiri dari rumah-rumah kecil dan besar (dengan bangunan tambahan) di Schenck de Jongweg, dikelilingi kawat berduri dan penutup bambu atau gedek.
Kamp ini dikomandani oleh Sonei (April 1944 hingga Agustus 1944), Takahashi (Agustus 1944 hingga September 1944), Aoyaoi (September 1944 hingga November 1944), Kasahara (mulai November 1944 dan seterusnya). Petugas jaga di kamp ini dari staff polisi asli dan heiho. Terdapat dua orang Belanda yang menjadi pemimpin kamp yaitu H.H. Crevels (April 1943 hingga April 1944) dan Akkerman (November 1944 sampai Maret 1945).
Pledang-Gevangenis
Kamp yang satu ini memiliki nama lain ‘De Boei’ atau ‘Bui’ atau nama lain dari penjara. Sama dengan nama kampnya yaitu penjara, kamp ini sekarang merupakan Lembaga Pemasyarakatan Paledang.
Lokasi kamp penjara ini terletak di Bantammer Weg, jalan yang membentang ke barat dari alun-alun depan Istana Gubernur Jenderal. Komandan di kamp ini adalah Letnan Sonei yang dibantu petugas keamanannya dari tentara Korea.
Sempoer
Kamp Sempoer terletak di lingkungan Sempoer (Sempur;sekarang), bersebelahan dengan kolam renang Kedoeng Halang di lembah Ciliwung, sebelah timur laut kota, di belakang Rumah Sakit Militer. Terdiri dari sekelompok rumah bintara, 8 diantaranya ditempati; yang lainnya kosong.
Kamp itu dikelilingi oleh penutup bambu atau Gedek di tiga sisinya. Sisi keempat berbatasan dengan kalium. Komandan di kamp ini adalah Letnan Sonei yang dijaga oleh tentara Korea. Sedangkan untuk koordinator kamp dipercayakan kepada seorang Belanda yaitu E.Th.Lease-de Groot (periode Oktober 1942 – Juli 1943).
Ursulinen-Klooster
Ursulinen-Klooster atau Biara Ursulin terletak di pusat kota di Rumah Sakit Alweg, tepat di utara Istana Gubernur Jenderal. Saat ini lebih dikenal sebagai Sekolah Regina Pacis di ujung Jalan Pengadilan.
Kamp itu bertempat di beberapa ruangan sekolah berasrama, dikelilingi kawat berduri. Dalam kamp ini para biarawati tinggal di bagian biara yang terpisah dari kamp laki-laki. Komandan kamp ini yaitu Matsuoda yang dibantu pengawasannya oleh personel polisi pribumi.
Keberadaan Interniran di Kota Bogor mulai menghilang pada tahun 1945 atau pada saat Jepang melemah. Sekutu mendirikan RAPWI (Recovery of Allied Prisoners of War and Internees) yang bertujuan untuk menjemput dan memulangkan warga negara Eropa di Asia Tenggara.
Setelah perang, masih terdapat sekitar 300.000 orang Jepang di Hindia Belanda. Pada bulan Mei, Juni dan Juli 1946 lebih dari 90% diangkut ke Jepang. Sekitar 13.000 orang Jepang tetap tinggal untuk melakukan pekerjaan kuli pada pemerintah Hindia Belanda; awal Mei 1947 kuli Jepang terakhir meninggalkan Hindia Belanda.
Para desertir Jepang yang jumlahnya tidak diketahui (tidak lebih dari beberapa ribu) tetap tinggal. Sebagian kecil dari mereka memberikan dukungan militer kepada pejuang kemerdekaan Indonesia karena alasan ideologis.
Lebih dari 3.000 orang Jepang tetap berada di Hindia Belanda karena dicurigai melakukan kejahatan perang. Hampir separuh dari kelompok ini dipulangkan bersama kuli Jepang pada paruh pertama tahun 1947. Beberapa tersangka dibawa ke Singapura untuk diadili di sana.
Penulis : Eko, Komunitas Bogor Historia