Bogor24Update – Gelombang demonstrasi yang dimulai sejak Senin, 25 Agustus 2025 menandai akumulasi ketidakpuasan publik terhadap lembaga negara, terutama kabinet dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Imbasnya, Indonesia saat ini menghadapi krisis legitimasi moral dan politik yang serius.
Pengamat dan Kebijakan Publik, Yusfitriadi mengaku prihatin dengan gonjang-ganjing yang terjadi di Indonesia saat ini.
Apalagi, kata dia, para wakil rakyat yang ada saat ini seolah tidak punya empati terhadap kondisi rakyat.
“Uya Kuya dan Eko Patrio joget-joget, Sahroni flexing motor dan mobil mewah, Nafa Urbach yang seolah merasa gajinya kecil padahal itu besar sehingga ini menimbulkan tidak empati terhadap publik yang memantik amarah,” ujar Yusfitriadi kepada wartawan di kawasan Cibinong, Selasa, 2 September 2025.
Pria yang akrab disapa Yus itu juga menyoroti banyaknya anggota dewan yang dengan santainya pergi ke luar negeri dengan alasan dinas, padahal tengah ada efisiensi.
“Anggota DPR main-main ke Singapura, China, Australia. Jangan berpikir tidak terpantau, kalian itu dipantau, masa wakil rakyat seperti ini,” cetusnya.
Kemudian, maraknya kasus korupsi di negeri ini menjadi faktor lainnya gelombang demonstrasi besar-besaran terjadi.
“Banyak pejabat yang korupsi besar tapi hukuman ringan, selama ini amarah masyarakat dipendam dan ketika meledak ya seperti kemarin demonya. Ini pelajaran buat temen-temen di parlemen,” paparnya.
Yus menilai, langkah DPR yang telah menonaktifkan lima anggotanya yang kontroversial usai demo besar-besaran terjadi itu hanya sebagai peredam belaka.
“Bagi saya penonaktifan Sahroni, Eko Patrio, Nafa Urbach, Uya Kuya, dan Adies Kadir itu apakah mengubah kebijakan DPR? Itu hanya meredam aja, saya jijik melihat anggota DPR,” katanya.
Imbasnya, lanjut Yus, krisis legitimasi terjadi di kalangan rakyat terhadap pemerintah.
“Dampaknya adalah krisis legitimasi, krisis kepercayaan yang berakibat merebak ke daerah lainnya seperti di Bogor,” tuturnya.
Selain itu, Yus pun menyoroti peran aparat yang seharusnya menjadi pengayom dan pelindung rakyat justru malah bersikap arogan.
“Aparat seharusnya berperilaku lah melindungi rakyat, semalam gas air mata masuk ke salah satu kampus. Sebetulnya kita kritis boleh, tapi anarkis sangat tidak ditoleransi,” ungkapnya.
Sementara itu, Koordinator Komite Pemilih Indonesia, Jeirry Sumampow menilai Presiden Prabowo Subianto kurang tegas dalam memimpin Indonesia.
“Misal memangkas tunjangn-tunjangan terhadap para pejabat negara, rangkap jabatan dihentikan seperti para menteri dicopot yang rangkap jabatannya. Ini terlalu banyak retorika dan juga banyak pemborosan, ngomongnya efisiensi tapi tindakannya tidak,” pungkas Jeirry Sumampow.(*)