Bogor24update – Kasus Tuberculosis (TBC) atau TB mengalami peningkatan di Kota Bogor. Bahkan peningkatan kasus TB pada anak di Kota Bogor mencapai 300 persen.
“Tidak hanya kasus TB yang meningkat, angka TB resisten obat juga meningkat jadi 199 persen, dan yang harus diwaspadai TB pada anak meningkat 300 persen akibat tertular dari orang dewasa melalui droplet (batuk, bersin),” ujar Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Bogor, Sri Nowo Retno.
Retno mengatakan hal tersebut saat peluncuran Aksi Geulis (Akselerasi Gerakan Eliminasi Tuberkulosis) di Paseban Sri Baduga, Balai Kota Bogor, Kamis, 6 Juli 2023.
Peluncuran Aksi Geulis itu didasarkan atas meningkatnya jumlah temuan kasus TB atau Tuberkulosis pada 2022 di Kota Bogor yang naik menjadi 200 persen atau total terdapat 7.769 kasus TB.
Retno mengatakan, anak-anak dengan TB berisiko tinggi terkena stunting, begitu juga dengan anak stunting beresiko terkena TB.
Peningkatan penularan TB ini, sambungnya, tidak diikuti dengan keberhasilan pengobatan yang mana angkanya baru 70 persen. Sementara target keberhasilan pengobatan TB dan TB resisten obat harus mencapai 90 persen.
“Presiden menargetkan eliminasi TB di 2030. Prevalensi sekarang di 354 per 100 ribu penduduk di tahun 2030 diharapkan bisa turun menjadi 65 per 100 ribu penduduk. Artinya perlu upaya percepatan eliminasi TB melalui Aksi Geulis yang merupakan inovasi dari Dinkes,” jelasnya.
Aksi Geulis ini merupakan bagian dari komitmen daerah menuntaskan TB. Pihaknya sudah membuat Rencana Aksi Daerah (RAD) eliminasi TB. Mulai dari membuat tim percepatan eliminasi TB dan membuat aplikasi pemetaan atau sebaran penderita TB sampai menyebar ke geospasial yang gunanya untuk melakukan pelacakan dan pemantauan.
“Kami juga melibatkan masyarakat dengan membentuk RW Siaga untuk bersama-sama bergerak menanggulangi TB, karena prinsip penuntasan TB atau memutus mata rantai penularan harus menemukan segera penderita, memastikan penderita berobat sampai sembuh, tidak putus obat dan menjadi TB resisten obat. Kami tracing juga kontak eratnya dan bagi yang berisiko tinggi, seperti balita kita berikan terapi TB,” tuturnya.
Ia menjelaskan, penyembuhan TB bisa diobati sampai sembuh asal berobat rutin, tidak putus obat minimal enam bulan. Untuk itu, butuh kepatuhan dari pasien sehingga pihaknya akan melakukan edukasi yang masif sehingga tidak terjadi resisten obat.
Retno menambahkan, gejala TB pada orang dewasa mulai dari batuk lebih dari dua minggu, penurunan berat badan, sesak, lemah, letih, dan lesu.
Warga bisa langsung memeriksa diri ke puskesmas dan akan dilakukan tes molekuler cepat yang mana dalam dua jam hasilnya sudah terlihat apakah positif atau negatif TB dan apakah resisten obat atau tidak.
“Ketika sudah positif harus diobati sampai sembuh dengan rutin meminum obat minimal enam bulan, tidak boleh putus obat karena kalau putus obat sebelum pengobatan selesai bisa resisten (kebal) obat,” jelasnya.
“Jadi dibutuhkan peran serta masyarakat untuk ikut memantau pengobatan agar tidak menularkan ke yang lain, karena satu penderita TB bisa menularkan 10 sampai 15 orang,” imbuh Retno.
Dorong Akselerasi Gerakan Eliminasi TB
Anggota Komisi IV DPRD Kota Bogor, Sri Kusnaeni mendorong Pemerintah Kota Bogor untuk mempercepat eliminasi TBC yang sesuai dengan visi misi Kota Bogor sehat menuju Bogor Kota Ramah Keluarga.
Dia berharap dengan adanya Aksi Geulis yang diinisiasi Dinkes Kota Bogor bisa menjadi langkah awal Pemkot Bogor dalam menekan angka kasus TBC di Kota Bogor.
“Kami dari DPRD Kota Bogor mendukung penuh Aksi Geulis ini. Karena sudah ada Rencana Aksi Daerah (RAD) melalui Perwali Nomor 18 Tahun 2023,” ujar Sri dalam keterangannya.
Sri juga berharap Aksi Geulis dapat direalisasikan dengan sebaik-baiknya. “Semoga ini bukan hanya sekedar tertulis di dalam kertas tapi kami berharap ini direalisasikan sebaik-baiknya,” ujarnya.
Sri yang hadir dalam acara tersebut mewakili ketua DPRD Kota Bogor mengaku dirinya banyak menemui kasus penderita TBC yang jenuh atas proses penyembuhannya.
Hal itu berpengaruh terhadap tingkat keberhasilan pengobatan pasien TBC di Kota Bogor yang pada tahun 2022 hanya menyentuh 70 persen.
Dengan upaya preventif yang dilakukan melalui Aksi Geulis, kata dia, diharapkan bisa sejalan dengan upaya pengobatan, agar menurunkan angka penularan dan kematian lantaran TBC.
“Kalau saya melihat munculnya TBC ini ketika saya turun ke lapangan sering menemukan kasus kejenuhan pasien untuk minum obat. Nah ini perlu diberikan pendampingan untuk menjaga mental pasien untuk bersabar dalam proses pengobatan,” paparnya.
Menurut Sri, upaya pengobatan TBC ini harus sejalan dengan upaya preventif. Ia juga mengatakan persoalan kesehatan, ekonomi, dan pendidikan dapat dikatakan sebagai lingkaran buruk yang harus diputus mata rantainya.
Sebab, sambungnya, jika masyarakat mengalami persoalan pada kesehatan, maka akan berdampak pada terhambatnya pemenuhan perekonomiannya.
Lalu, apabila persoalan perekonomian terganggu, maka akan berdampak kepada menurunnya partisipasi pada dunia pendidikan.
“Akhirnya dengan minimnya tingkat pendidikan yang dimiliki oleh masyarakat, akan berdampak kepada rendahnya pengetahuan akan menjaga pola hidup bersih dan sehat,” tandasnya.
Oleh karenanya, mata rantai ini harus bisa diputus dengan melakukan Aksi Geulis. “Mudah-mudahan ini menjadi percepatan untuk kita semua memastikan kesehatan kebutuhan dasar warga kota bogor bisa dipenuhi sebaik-baiknya,” ucapnya.