Pada tahun 1853, penduduk Bogor memiliki seperangkat peraturan pemukiman.
Pada saat itu, Gubernur Jenderal JC Baud mengatur dan menamai peraturan tersebut sebagai wijkenstelsel berdasarkan kelompok etnis tertentu, yang bertujuan untuk mencegah masyarakat berbaur dengan kelompok etnis lainnya.
Wisatawan dapat dengan mudah menemukan rumah-rumah yang didatangi oleh penduduk Tionghoa yang berdagang dan menjadi produsen di jalan-jalan seperti Lawang Seketeng.
Jalan ini dulunya merupakan salah satu pusat perdagangan yang ramai di pusat Kota Bogor.
Handelstraat atau Suryakencana memiliki banyak situs cagar budaya yang beragam, salah satunya adalah Vihara Hok Tek Bio, yang berfungsi sebagai tempat ibadah umat Buddha dan objek wisata religi.
Hingga saat ini, Cahaya Suryakencana terus berkembang mengikuti perkembangan zaman, tanpa pernah meninggalkan peradaban.
Jalan yang tidak pernah tidur, itulah julukan Jalan Suryakencana, dan roda kehidupan masyarakat yang tinggal di sana terus berputar tanpa henti dan kondisi jalan pun semakin membaik dari waktu ke waktu.(***)