Karena itu, pihaknya berharap betul ada evaluasi secara menyeluruh dari pemerintah terhadap efek dari penerapan aturan jalur zonasi dalam PPDB.
“Karena kenyataannya banyak masyarakat mengungkapkan kekecewaannya, kesempatan mereka untuk bersaing ke sekolah yang mereka dituju ini terganggu dengan banyaknya keanehan. Mereka mencurigai terhadap jarak si pendaftar terhadap sekolah yang makin tahun makin dekat,” tambahnya.
Semisal, ia mencontohkan di dua tahun lalu jarak terjauh ada 600 meter, namun tahun kemarin berkurang menjadi 500 meter. “Nah, besok kami masih menunggu juga jarak terjauhnya berapa di masing-masing sekolah,” katanya.
Lebih lanjut, dikatakan Deddy, Kota Bogor menghadapi dua masalah sangat fundamental berpengaruh terhadap pengaplikasian jalur zonasi. Pertama, ketersediaan jumlah kursi baik SMP maupun SMA negeri yang rasionya sangat jomplang dengan lulusan SD negeri.
Kedua, pola penyebaran sekolah yang masih berkumpul di area perkotaan di tengah kota. Sehingga selain jumlahnya tidak mencukupi, jangkauannya juga belum menjangkau ke seluruh wilayah Kota Bogor. “Ini makin menambah rumit masalah yang timbul di lapangan,” tandasnya.
Sementara sorotan terkait PPDB jenjang SMA di Kota Bogor dari jalur zonasi juga viral di media sosial Twitter.
Dalam postingannya, akun @fachrezy_id mempertanyakan kebenaran jarak rumah peserta yang sudah mendaftar dengan sekolah kepada Wali Kota Bogor Bima Arya.
Pemilik akun juga membagikan dua foto tangkap layar diduga nama-nama peserta PPDB dari jalur zonasi.
“Ini adalah nama nama orang yang make calo untuk masuk PPDB SMA Negeri 1 Kota Bogor. Ga mikir pak warga asli situ yang gakebagian anak nya sistem zonasi beneran? @BimaAryaS dibelakang sma 1 rumah hanya 20 biji pun kurang tapi bisa banyak bgt yang 50M?,” tulis pemilik akun Twitter dengan nama @fachrezy_id.