Bogor24Update – Pakar Ekonomi Pertanian dan Kebijakan Agribisnis IPB University, Dr Feryanto turut menanggapi terkait kondisi kenaikan sejumlah harga pangan nasional, seperti beras dan cabai.
Diketahui, data dari Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS) menunjukkan harga komoditas pangan utama di awal tahun 2024 ini mengalami peningkatan. Harga-harga tersebut bahkan melebihi harga eceran yang ditetapkan oleh pemerintah.
Feriyanto yang juga Dosen Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB University itu mengurai pemicu kenaikan harga pangan yang terjadi.
Ia menjelaskan bahwa tren kenaikan harga pangan telah dimulai sejak pandemi usai, sekitar tahun 2022. Saat pandemi terjadi pembatasan yang mengakibatkan konsumsi masyarakat menurun.
Namun, begitu pandemi selesai, permintaan menjadi tinggi, sementara ketersediaan bahan pangan masih terbatas.
Ia mengatakan bahwa kenaikan harga pangan ini, tak hanya terjadi di Indonesia, tapi juga di tingkat dunia. Hal tersebut disebabkan oleh efek perubahan iklim global dan kondisi geopolitik, seperti perang Ukraina-Rusia, perang Israel-Palestina, dan perang dagang Tiongkok-Amerika Serikat.
Adapun kenaikan harga beras salah satunya dipengaruhi oleh penurunan produksi di tahun lalu akibat dampak negatif El Nino.
“Salah satu penyebab harga beras terus naik adalah adanya penurunan produksi sampai 2,05 persen di tahun 2023 karena El Nino,” jelas Feryanto dikutip dari situs ipb.ac.id, Sabtu, 24 Februari 2024.
“El Nino ini menyebabkan musim tanam mundur dan otomatis musim panen juga mundur,” lanjut Feryanto.
Ia juga mengatakan, tak hanya beras, bahan pangan lain seperti cabai dan bawang merah juga mengalami hal serupa.
Pada kasus bawang merah, jelasnya, permintaan pasar memang cenderung stabil, tapi dibanding dengan supply yang rendah, tetap akan terjadi kelangkaan barang.
“Pada komoditas tertentu bentuknya musiman, jadi perlu kerja sama pemerintah dan petani untuk membuat kalender tanam, agar ketersediaan bahan pangan tidak melimpah di satu waktu dan langka di waktu lain,” imbuhnya.
Menurutnya, fenomena menarik di Indonesia adalah jumlah permintaan meningkat saat libur Natal dan Tahun Baru, Imlek, serta menjelang Ramadan dan Lebaran.
Permintaan bahan pangan yang tinggi, kata Feryanto, berpotensi menyebabkan kenaikan harga, atau meskipun stabil, posisi harga tetap lebih tinggi dibanding sebelumnya.
“Dampak negatif yang terjadi dalam jangka pendek adalah penurunan daya beli masyarakat,” ujar Feryanto.
Selanjutnya, dalam jangka panjang jumlah orang miskin di Indonesia meningkat, karena kondisi ini membuat masyarakat mengeluarkan uang lebih banyak untuk mendapatkan barang yang sama.
Guna mengantisipasi hal tersebut, kata dia, pemerintah mengadakan program Bantuan Sosial (Bansos) dalam beberapa bentuk dan kebijakan untuk mempertahankan daya beli masyarakat.
Dampak negatif lainnya, kata Feryanto, adalah inflasi akan tinggi sehingga dapat menggerus Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) serta daya beli masyarakat secara keseluruhan.
Hal itu dikarenakan pemerintah harus menambah anggaran subsidi, bantuan sosial, dan kebijakan lain.
Ia mengatakan dalam menghadapi kondisi seperti ini perlu dorongan kepada masyarakat untuk melakukan diversifikasi ke produk pangan lokal, seperti umbi-umbian.
Masyarakat bisa memanfaatkan pekarangan rumah untuk menanam komoditas sayuran. Peranan industri juga diperlukan dalam melakukan inovasi dan pengembangan teknologi.
Ia mengungkapkan bahwa sebenarnya masyarakat menengah ke atas telah melakukan diversifikasi pangan. Namun, umumnya beralih ke produk olahan gandum, sementara diketahui bahwa gandum adalah produk impor.
“Sebagai akademisi kita harus memberikan informasi dan pemahaman kepada masyarakat melalui tulisan dan media sosial, sehingga masyarakat tahu untuk bersikap tidak hanya ketika kenaikan harga pangan terjadi, tapi juga bagaimana cara mengantisipasinya,” ucapnya. (*)