Oleh : Dony P. Herwanto
Film Sore: Istri dari Masa Depan (2025) pada pandangan pertama tampak sederhana dan manis. Sebuah drama romantis dengan sentuhan fantasi yang menghadirkan formula klasik: cinta yang melampaui logika waktu.
Film ini menawarkan premis fantasi yang menggoda: apa jadinya jika seseorang bertemu dengan istrinya dari masa depan, yang datang untuk memperingatkan agar ia menjaga kesehatan supaya tidak cepat meninggal?
Premis itu sederhana sekaligus jenaka, dan di tangan sutradara Yandy Laurens, ia diolah menjadi kisah cinta yang manis, penuh tawa, dengan sentuhan air mata.
Kisah ini sebenarnya bukan baru, melainkan adaptasi ulang dari serial web YouTube berjudul sama yang tayang pada 2017, di mana Dion Wiyoko juga turut membintanginya.
Ceritanya berpusat pada Jonathan, diperankan Dion Wioyoko, seorang pemuda urban kelas menengah yang kehidupannya berubah setelah bertemu dengan Sore, perempuan yang tiba-tiba muncul dan mengaku sebagai istrinya dari masa depan.
Tugas Sore sederhana sekaligus pelik: memastikan Jonathan hidup lebih sehat, lebih berhati-hati, agar masa depan mereka berdua tetap ada. Di sinilah titik jual utama film ini-ide tentang cinta yang berjuang menembus waktu demi menjaga orang yang dikasihi.
Sebagai tontonan populer, Sore jelas berhasil. Ia menyentuh banyak penonton dengan narasi pengorbanan, visual kota yang estetik, hingga chemistry antara tokoh utamanya.
Film ini tidak hanya berfungsi sebagai cerita cinta, tetapi juga sebagai fantasi manis tentang takdir, pilihan, dan pengorbanan.
Namun, apakah semua keindahan itu berdiri netral? Apakah film hanya menawarkan hiburan semata? Pertanyaan ini mengantar kita pada pembacaan yang lebih dalam, bahwa Sore sejatinya tidak sesederhana kisah cinta. Ia adalah cermin dari bagaimana sinema bekerja sebagai medium budaya: membungkam suara tertentu, melanggengkan dominasi, dan merawat hegemoni yang dianggap wajar.
Sore sebagai Figur yang Dibungkam
Karakter Sore, yang diperankan Sheila Dara, tampaknya ditempatkan sebagai pusat fantasi. Ia datang dari masa depan, membawa pengetahuan yang lebih luas, bahkan memegang kendali atas kemungkinan hidup dan mati Jonathan. Secara logika cerita, ia mestinya punya kuasa.
Namun ironisnya, film justru menempatkan Sore bukan sebagai agen utama, melainkan sebagai sosok pendukung. Semua pengetahuan dan pengorbanannya diarahkan untuk kepentingan Jonathan. Cinta dalam film ini tampil bukan sebagai ruang setara, melainkan arena di mana perempuan berfungsi menjaga dan melayani.
Jika kita gunakan kacamata Co-Cultural Theory yang diperkenalkan Mark Orbe, maka Sore adalah representasi dari kelompok non-dominan—dalam hal ini perempuan—yang memilih strategi komunikasi nonassertive assimilation.
Ia mengorbankan dirinya demi mempertahankan keharmonisan, menghindari konflik, dan memastikan sang laki-laki tetap menjadi pusat orbit. Sore tidak melawan, tidak menuntut kesetaraan, melainkan menyesuaikan diri dengan kerangka yang sudah ada.
Narasi cinta ini, bila dibaca kritis, sebenarnya menormalisasi pola komunikasi perempuan yang “diam” dan “mengalah,” sebuah pola yang terus-menerus diulang dalam budaya populer.
Di balik romantisme yang manis, terdapat struktur pembungkaman. Suara Sore, meski tampak keras saat memperingatkan Jonathan, sebenarnya dibatasi oleh peran naratif: ia tidak boleh menuntut terlalu banyak, ia hanya boleh hadir sebagai penjaga.
Seolah-olah, kekuatan perempuan hanyalah valid bila digunakan untuk melindungi laki-laki. Dengan begitu, Sore tak sekadar bercerita tentang cinta, tetapi juga memperkuat konstruksi patriarki melalui representasi perempuan yang mendukung, merawat, sekaligus mengorbankan dirinya.
Hegemoni yang Halus
Pertanyaan berikutnya: mengapa narasi semacam ini terasa begitu wajar, bahkan menyentuh banyak penonton? Di sinilah teori hegemoni Antonio Gramsci relevan. Hegemoni bekerja bukan dengan paksaan, melainkan dengan menciptakan konsensus. Ideologi dominan tampil seolah-olah netral, wajar, bahkan indah. Cinta dalam Sore dipersepsikan sebagai pengorbanan tanpa syarat—penonton menangis, tersenyum, bahkan iri dengan kesetiaan Sore. Padahal, bila dibaca lebih dalam, pengorbanan ini adalah bentuk dominasi yang dikemas dalam balutan estetika romansa.
Lebih jauh, film ini juga meneguhkan hegemoni kelas menengah urban. Seluruh latar cerita dipenuhi dengan ruang-ruang modern: apartemen mewah, kafe trendi, perjalanan keluar negeri. Realitas kelas pekerja, perkampungan, atau wajah sosial lain nyaris tidak hadir.
Modernitas dalam Sore adalah modernitas eksklusif, yang hanya dimiliki dan dinikmati oleh kalangan menengah ke atas. Dengan kata lain, film ini bukan hanya membungkam suara perempuan, tetapi juga menghapus keberadaan kelas sosial lain dari lanskap representasi.
Inilah cara sinema ikut merawat imajinasi tentang siapa yang layak dicintai, siapa yang layak menjadi tokoh utama, dan siapa yang boleh hadir dalam narasi.
Visual film Sore yang penuh dengan sinar matahari sore, warna hangat, dan ruang-ruang urban yang bersih sebenarnya adalah strategi estetika. Ia mengajak penonton tenggelam dalam rasa nyaman, larut dalam keindahan, sehingga lupa mempertanyakan ketidakadilan yang sedang dipertontonkan.
Inilah yang disebut Adorno dan Horkheimer sebagai industri budaya: hiburan yang menstandarkan rasa, membuat penonton menikmati tanpa sadar bahwa mereka juga sedang disuguhi ideologi.
Sore adalah bukti bagaimana estetika bisa menjadi alat persuasif yang kuat untuk menciptakan konsensus terhadap narasi cinta dan pengorbanan.
Apakah berarti kita harus membenci film ini? Tidak juga. Justru, membaca Sore membuka ruang refleksi: cinta tidak selalu netral. Ia sering kali digunakan sebagai perangkat ideologis untuk melanggengkan dominasi.
Dalam film ini, cinta adalah cara untuk meneguhkan kembali peran perempuan sebagai penjaga dan pengorban, serta cara untuk menyingkirkan kelas sosial lain dari wacana modernitas.
Ironi Masa Depan
Ironisnya, sebuah film yang mencoba meramal masa depan justru terjebak dalam imajinasi yang usang. Sore memang berhasil menjual cinta sebagai sesuatu yang abadi, tetapi cinta itu tetap terikat pada kerangka sosial yang timpang.
Perempuan sekali lagi direduksi pada peran pengorbanan, tubuhnya menjadi ruang di mana penderitaan dilegalkan demi keindahan romantisme. Kelas pekerja, yang seharusnya tak terpisahkan dari narasi kota modern, absen sama sekali seakan tak pantas masuk dalam cerita.
Sementara itu, ideologi dominan—yang meneguhkan siapa boleh bersuara dan siapa harus bungkam—tetap berkuasa tanpa tandingan. Alih-alih membuka kemungkinan baru tentang relasi manusia di masa depan, Sore justru menghaluskan wajah status quo dengan balutan kisah manis.
Inilah paradoks yang menempel kuat pada film ini: ia mampu menyentuh hati, tetapi sekaligus membius kesadaran kritis kita dengan estetika ketidakadilan.
Jika kita melihat melalui kacamata Muted Group Theory, jelas bahwa suara perempuan dalam film ini tidak diberikan ruang penuh untuk berkembang.
Sheila Dara Aisha, meski hadir sebagai tokoh sentral, tetap dipaksa berada dalam kerangka komunikasi yang ditentukan oleh norma dominan: perempuan yang baik adalah yang sabar, pengertian, dan rela mengorbankan dirinya.
Inilah bentuk pembungkaman yang halus: bukan dengan menghilangkan karakter perempuan, tetapi dengan mengatur cara mereka berbicara, bertindak, dan bahkan mencintai.
Ia tetap ada, namun kehadirannya selalu dalam orbit wacana laki-laki. Film ini, alih-alih merayakan kebebasan perempuan di masa depan, justru mengulang pola lama: perempuan sebagai figur emosional, laki-laki sebagai pusat rasionalitas dan keputusan.
Menonton Sore tanpa kacamata kritis barangkali membuat kita percaya bahwa cinta adalah segalanya. Namun, dengan lensa Co-Cultural Theory dan hegemoni Gramsci, kita melihat lapisan lain: bahwa cinta di layar lebar sering kali menjadi instrumen ideologi.
Sore mungkin berhasil membuat banyak orang menitikkan air mata, tetapi keberhasilan itu juga menandakan betapa kuatnya hegemoni bekerja—ia membuat ketidakadilan terasa wajar, bahkan indah.
Pertanyaannya, sampai kapan kita mau larut dalam romantisme semacam ini tanpa mempertanyakan apa yang sedang disembunyikan?
Karena bisa jadi, masa depan yang digambarkan Sore bukanlah tentang cinta yang abadi, melainkan tentang ketidakadilan yang ikut diwariskan. Cinta akan selalu ada, tetapi suara-suara yang dibungkam pun akan tetap mengikuti kita, menyelinap lembut dalam setiap kisah yang kita anggap manis. (*)





















