Menurutnya, fenomena menarik di Indonesia adalah jumlah permintaan meningkat saat libur Natal dan Tahun Baru, Imlek, serta menjelang Ramadan dan Lebaran.
Permintaan bahan pangan yang tinggi, kata Feryanto, berpotensi menyebabkan kenaikan harga, atau meskipun stabil, posisi harga tetap lebih tinggi dibanding sebelumnya.
“Dampak negatif yang terjadi dalam jangka pendek adalah penurunan daya beli masyarakat,” ujar Feryanto.
Selanjutnya, dalam jangka panjang jumlah orang miskin di Indonesia meningkat, karena kondisi ini membuat masyarakat mengeluarkan uang lebih banyak untuk mendapatkan barang yang sama.
Guna mengantisipasi hal tersebut, kata dia, pemerintah mengadakan program Bantuan Sosial (Bansos) dalam beberapa bentuk dan kebijakan untuk mempertahankan daya beli masyarakat.
Dampak negatif lainnya, kata Feryanto, adalah inflasi akan tinggi sehingga dapat menggerus Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) serta daya beli masyarakat secara keseluruhan.
Hal itu dikarenakan pemerintah harus menambah anggaran subsidi, bantuan sosial, dan kebijakan lain.
Ia mengatakan dalam menghadapi kondisi seperti ini perlu dorongan kepada masyarakat untuk melakukan diversifikasi ke produk pangan lokal, seperti umbi-umbian.
Masyarakat bisa memanfaatkan pekarangan rumah untuk menanam komoditas sayuran. Peranan industri juga diperlukan dalam melakukan inovasi dan pengembangan teknologi.
Ia mengungkapkan bahwa sebenarnya masyarakat menengah ke atas telah melakukan diversifikasi pangan. Namun, umumnya beralih ke produk olahan gandum, sementara diketahui bahwa gandum adalah produk impor.
“Sebagai akademisi kita harus memberikan informasi dan pemahaman kepada masyarakat melalui tulisan dan media sosial, sehingga masyarakat tahu untuk bersikap tidak hanya ketika kenaikan harga pangan terjadi, tapi juga bagaimana cara mengantisipasinya,” ucapnya. (*)