Bogor24update – Kejaksaan Negeri (Kejari) Kota Bogor menyatakan berkas perkara kasus dugaan korupsi pembangunan gedung kantor pusat pelayanan administrasi pasien tahap II Rumah Sakit Marzoeki Mahdi (RSMM) Bogor Tahun Anggaran 2017 yang dilimpahkan Polresta Bogor Kota telah lengkap atau P21.
“Berkas perkara yang dilimpahkan kepada kami untuk diteliti sudah kami nyatakan lengkap atau P21. Sehingga kami sudah melakukan pelimpahan barang bukti dan tersangka,” kata Kasubsi Penyidikan Tindak Pidana Khusus Kejari Kota Bogor, Abram Tambunan, Selasa, 21 Februari 2023.
Selanjutnya, pihaknya akan segera melimpahkan bekas perkara dengan dua tersangka, MHB dan ASR ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Bandung.
“Untuk penanganan perkara dari kami mungkin di hari Kamis (23/2) besok berencana akan melimpahkan berkas perkara ke Pengadilan Tipikor Bandung,” tutur Abram.
Setelah ini, lanjutnya, terhadap tersangka dilakukan penahanan sebagai tahanan titipan selama 20 hari kedepan di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Bogor.
“Tapi untuk ASR itu masih sedang menjalani masa pemidanaan dalam perkara di Jakarta Timur. Nanti dari Salemba dititip sementara untuk disidangkan di Paledang. Jadi keduanya di Paledang,” imbuhnya.
Sebelumnya, Polresta Bogor Kota menetapkan dua tersangka MBH dan ASR dalam kasus dugaan korupsi pembangunan gedung kantor pusat pelayanan administrasi pasien tahap II RSMM Bogor.
Diketahui, MHB selaku ketua pokja pemilihan dan ASR selaku direktur utama PT. Delbiper Cahaya Cemerlang (DCC) atau pemenang tender.
Kapolresta Bogor Kota Kombes Pol Bismo Teguh Prakoso mengatakan, pengungkapan kasus tindak pidana korupsi ini merupakan hasil pengembangan atas dasar laporan pada tahun 2019.
“Awalnya kami menerima laporan dari beberapa subkontraktor (subkon) yang mengerjakan di RSMM tertunggak pembayarannya,” kata Kombes Bismo, Selasa, 21 Februari 2023.
Pengerjaan dimaksud perluasan gedung kantor pusat pelayanan administrasi pasien tahap II di RSMM Tahun Anggaran 2017.
Dalam kasus ini, MHB menetapkan PT DCC sebagai pemenang tender dengan nilai kontrak Rp6,7 miliar. Penetapan tersebut diduga atas perintah CSW selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK).
“CSW yang sudah meninggal dunia dalam penyelidikan, memerintahkan MHB selaku ketua pokja pemilihan untuk memenangkan PT DCC. Antara MHB dan CSW adalah ASN (aparatur sipil negara),” paparnya.
Pengaturan pemenang tender tersebut, kata Kombes Bismo, melanggar Perpres 54/2010 tentang Pengadaan Barang Jasa Pemerintah yang terakhir diubah dengan Perpres 4/2015 tentang Perubahan Keempat Atas Perpres 54/2010.
Disisi lain, PT DCC yang memiliki dua direksi, yakni ASR selaku direktur utama dan SKN selaku direktur telah menyediakan perusahaannya untuk digunakan oleh orang lain dalam mengikuti tender atau pinjam bendera.
“SKN dalam proses penyelidikan dan penyidikan meninggal dunia. SKN ini menyediakan dokumen fiktif atau palsu seolah-olah dokumen itu benar. Sehingga PT DCC menjadi legal dan memenuhi syarat sebagai menang,” ungkapnya.
Dalam pelaksanaannya, PT DCC juga mengalihkan seluruh pekerjaan kepada pihak lain atau subkon. Sementara dari peminjaman perusahaan tersebut, ASR menerima fee sebesar Rp75 juta.
“Pelaksanaan pekerjaan ini dikerjakan oleh D dan N hingga pekerjaan selesai,” ujarnya.
Dari hasil audit konstruksi yang dilakukan oleh Tim Ahli konstruksi dari Politeknik Negeri Bandung, kata Kombes Bismo, penyimpangan dalam pelaksanaan pekerjaan tersebut mengakibatkan tidak tercapainya volume dan mutu pekerjaan sesuai kontrak.
“Hasil audit ada kekurangan kualitas volume dari pekerjaan tersebut yang seharusnya 100 persen, faktanya minus 13 persen,” paparnya.
Sedangkan kasus ini berdasarkan hasil audit dari Badan Pemeriksa Keuangan telah mengakibatkan kerugian keuangan negara sebesar Rp1,6 miliar dari nilai kontrak Rp.6,7 miliar.
Atas perbuatannya, kedua tersangka disangkakan telah melanggar UU 20/2001 tentang Perubahan Atas UU 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
“Ancaman hukuman pidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat empat tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit Rp200 juta dan paling banyak Rp1 miliar atau pidana penjara paling singkat satu tahun dan paling lama 20 tahun dan atau denda paling sedikit Rp50 juta dan paling banyak Rp1 miliar,” kata Kombes Bismo. (Haris)