Bogor24Update – Idul Fitri merupakan salah satu momen penting bagi umat Islam di seluruh dunia.
Dianggap penting karena Idul Fitri sebagai titik revitalisasi manusia kembali ke fitrahnya, setelah sebelumnya telah melalui proses pensucian diri lewat ibadah shiyam atau biasa disebut puasa yang dilakukan selama satu bulan lamanya.
Secara harfiah, arti puasa adalah berpantang sepenuhnya dari makanan, minuman, hingga nafsu, mulai sebelum fajar hingga matahari terbenam. Dan puasa merupakan salah satu item dari Rukun Islam yakni yang keempat (sebelum “naik haji” dan sesudah “zakat”).
Dari hal tersebut sudah barang tentu puasa adalah sebuah perintah bagi umat islam. “Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS Al-Baqarah: 183)
Setelah adanya menjalankan puasa Ramadhan selama satu bulan lamanya, umat islam akan meraih ruang pembebasannya yakni di Hari Raya Idul Fitri atau biasa dikenal lebaran.
Lebaran sendiri merupakan pertanda jika ibadah puasa sudah berakhir dan umat islam kembali fitrah (suci) layaknya bayi baru lahir.
Namun pemahaman atas esensi dari lebaran itu sendiri kian terkikis. Banyak umat islam yang memaknai lebaran dari sisi lahiriah belaka, hal itu bisa dilihat dengan kasat mata oleh adanya suatu budaya konsumtif dalam penyambutan hari raya Idul Fitri.
Perayaan ini justru di isi dengan pemenuhan kebutuhan sekunder sampai kepada kebutuhan tersier secara berlebihan semisal selalu memperbarui pakaian hingga kendaraan.
Padahal revitalisasi yang dimaksud adalah perbaikan diri atas segala perilaku buruk yang pernah dilakukan sebelumnya atau lebih eksplisitnya lagi perubahan fundamental bathiniyah.
Darimana lahirnya budaya konsumtif yang merusak esensi “Hari Pembebasan” Idul Fitri?
Masyarakat konsumtif tidak lahir secara alami namun mereka diciptakan oleh sebagian pihak yang disebut “Gerakan Kapitalisme Global” dengan metode sistem globalisasi. Secara nampak, globalisasi memang seolah memberikan banyak perubahan baru atas peradaban manusia.
Peningkatan teknologi yang memudahkan manusia dalam berkomunikasi diberbagai belahan dunia hingga mesin yang mempercepat proses produksi seperti tanda kemajuan zaman saat ini kian pesat.
Tapi, Apakah kita sadar bahwa proses homogenisasi yang terjadi di era globalisasi hanya sebatas ilusi?, Dikatakan ilusi karena saat ini faktanya solidaritas persatuan manusia hanya sebatas slogan semata, ketimpangan ekonomi yang curam antar bumi bagian utara (sebagai pemodal) dan selatan (sebagai buruh dan tani) terjadi begitu signifikan.
Mulai dari sinilah budaya konsumtif lahir, perkembangan kapitalisme global tentu membutuhkan pasar untuk menunjang kemajuan mereka.
Lalu, siapa yang dikatakan pasar tersebut?, merekalah masyarakat konsumtif yang terus menerus melahap hasil produk kapitalisme tersebut.
Masyarakat konsumtif atau konsumen ini memang dibentuk mulai dari kerangka logikanya (mindset) untuk hidup d3ngab tujuan terus menerus melakukan konsumsi.
Kenapa demikian?, Karena mereka menganggap dibalik suatu komoditi terdapat nilai eksistensi sosial yang sangat penting.